Artikel Betawi....
Gudangnye Data
BIOGRAFI BETAWI
ISTILAH BETAWI
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.
SEJARAH
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.
SUKU BETAWI
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.
SETELAH KEMERDEKAAN
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
BAHASA
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
SENI DAN KEBUDAYAAN
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
KEPERCAYAAN
Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
PROFESI
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
PERILAKU DAN SIFAT
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). namun tetap ada optimisme dari masyarakat betawi generasi mendatang yang justreu akan menopang modernisasi tersebut.
TOKOH BETAWI
* Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
* Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
* Ridwan Saidi - budayawan, politisi
* Bokir - seniman lenong
* Nasir - seniman lenong
* Benyamin Sueb - artis
* Nazar Ali - artis
* Mandra - artis
* Omaswati - artis
* Mastur - artis
* Mat Solar - artis
* Fauzi Bowo - pejabat pemerintahan
* K.H. Noerali - pahlawan nasional, ulama
* SM Ardan - sastrawan
* Mahbub Djunaidi - sastrawan
* Firman Muntaco - sastrawan
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.
SEJARAH
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.
SUKU BETAWI
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.
SETELAH KEMERDEKAAN
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
BAHASA
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
SENI DAN KEBUDAYAAN
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
KEPERCAYAAN
Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
PROFESI
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
PERILAKU DAN SIFAT
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). namun tetap ada optimisme dari masyarakat betawi generasi mendatang yang justreu akan menopang modernisasi tersebut.
TOKOH BETAWI
* Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
* Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
* Ridwan Saidi - budayawan, politisi
* Bokir - seniman lenong
* Nasir - seniman lenong
* Benyamin Sueb - artis
* Nazar Ali - artis
* Mandra - artis
* Omaswati - artis
* Mastur - artis
* Mat Solar - artis
* Fauzi Bowo - pejabat pemerintahan
* K.H. Noerali - pahlawan nasional, ulama
* SM Ardan - sastrawan
* Mahbub Djunaidi - sastrawan
* Firman Muntaco - sastrawan
SEKILAS TENTANG BETAWI
Tetapi awal mula perkembangan Jakarta yang dianggap penting dimulai pada abad ke-16 ketika Portugis mulai tertarik pada pelabuhan Sunda Kelapa yang sejak abad ke- 12 telah menjadi salah satu pusat perdagangan penting di Nusantara, bahkan di Asia.
Karena daya tarik Jakarta tersebut, pada tahun 1522 Portugis masuk ke Jakarta dan membuat perjanjian dengan raja Pajajaran, yang antara lain mengijinkan Portugis membangun Benteng di Sunda Kelapa. Pada masa inilah kekuatan urbanisme baru mulai diperkenalkan pada Jakarta yang secara pasti merubah urban landscape dari suatu kota, pantai asli dengan kompleks keraton sebagai unsur penting daripadanya, menjadi kota yang berwajah "Eropa", melalui berbagai proses perebutan kekuasaan dan lain-lain yang disertai dengan pembangunan benteng dan berbagai fasilitas lainnya di atas lokasi yang menjadi cikal bakal kota Jakarta oleh berbagal pihak yang terlibat dalam proses tersebut.
Proses ini dimulai dengan tidak dapat diterimanya perjanjian tersebut oleh kerajaan Islam di Demak yang kemudian menyerang dan menduduki Sunda Kelapa pada tahun 1527 di bawah Fatahillah. Atas kemenangannya ini Fatahillah kemudian menamakan Sunda kelapa dengan "Jayakarta", yang artinya adalah "kemenangan berjaya". Dan beberapa saat kemudian oleh Fatahillah Jayakarta dikembangkan di sebelah Barat Sungai Ciliwung sehingga menjadi suatu kota pelabuhan atau kota pantai yang penting. Sementara itu, di sebelah Timur Sungai Ciliwung berkembang pula permukiman yang dihuni orang-orang Cina yang melakukan aktifitas perdagangan di sini.
Pada tahun 1617 di atas pernukiman Cina tersebut Belanda mendapat ijin membangun sebuah kantor dagang. Tetapi kesempatan ini juga ternyata disalah gunakan untuk membangun benteng yang sangat tidak disukai oleh Jayakarta. Karenanya Belanda kemudian mendapatkan kesukaran dari Jayakarta yang disokong oleh Banten, dan Inggris. Hal ini yang kemudian menjadi sebab terjadinya permusuhan antara Belanda dengan ketiga kekuatan lainnya tersebut.
Dengan bantuan kekuatan Belanda yang dari Maluku, pada tahun 1619 Jayakarta. ditundukkan Belanda di bawah pimpinan J.P. Coen. Kota Jayakarta di sebelah Barat Sungai Ciliwung dihancurkan dan Coen kernudian membangun kota dengan gaya kota Belanda di sebelah Timur Ciliwung. Nama Jayakarta kernudian diubah menjadi Batavia. Dan sejak saat ini perkembangan kota Jakarta banyak ditentukan oleh konsep-konsep perencanaan kota Belanda/Eropa.
Walaupun di satu pihak perkembangan Jakarta banyak ditentukan oleh aktifitas orang-orang Belanda dan melahirkan bagian kota yang mirip kota di Belanda, di pihak lainnya tumbuh permukiman kaum pribumi yang memiliki ciri-ciri pertumbuhannya sendiri. Di daerah pantai, permukiman pribumi tersebut merupakan permukiman nelayan, dan di daerah hinterland (dalam) permukiman ini merupakan permukiman yang bercirikan desa pertanian/perkebunan. Yang di daerah pantai kebanyakan dihuni oleh orang-orang Jawa, Cina dan pendatang lainnya; sedangkan yang dibagian dalam dihuni oleh orang-orang Sunda, Jawa dan "Betawi". Permukiman-permukiman ini merupakan permukiman "asli" yang berbeda dengan permukiman Belanda.
Pada abad 17 dan 18, Jakarta merupakan kota tempat berimigrasinya orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya dari Melayu, Ambon, Bugis dan Bali. Kedatangan mereka pada umumnya memiliki kaitan dengan kegiatan perdagangan yang berkembang pesat di Jakarta. Dan mereka membentuk permukiman menurut latar belakang etnisnya, yang biasanya terdapat di dekat jalur-jalur komunikasi dan pusat-pusat yang dibangun Belanda. Permukiman-permukiman inipun bisa dikategorikan sebagai permukiman "asli" karena turnbuh menurut aturan-aturan sendiri dari & masing-masing kelompok etnis yang bersangkutan.
Dengan adanya pertumbuhan permukiman-permukiman asli tersebut, yang terkelompok-kelompok menurut latar belakang etnis masing-masing penduduknya, pada sekitar tahun 1840-an istilah "kampung" pertama kali dikenal yang mengindikasikan "permukiman asli" yang dibedakan dari istilah "kota" untuk permukiman Belanda, yang nampaknya muncul dari istilah compound. Sejak saat ini dikenal istilah kampung Melayu, kampung Bali dan sebagainya, yang menandai latar belakang etnis masing-masing pemukimnya. Kampung-kampung inilah yang berkembang sejak abad 17, yang bersama-sama kampung-kampung di daerah dalam dan di daerah pantai, kemudian menjadi kampung-kampung Betawi yang dikenal sekarang.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Undang-undang pemerintahan Hindia Belanda, membedakan peraturan bagi permukiman Belanda (Bebouwde Kom) dari permukiman kampung (yang disebut Inlandsche Gemeenten) dengan aturan pembangunannya masing-masing. Atau dengan kata lain, selama masa ini ada semacam "otonomi" bagi kampung-karnpung yang termasuk ke dalam Inlandsche Gemeenten untuk mengatur perkembangan/pembangunannya sendiri di luar aturan-aturan pernbangunan kota yang diperuntukan bagi permukiman Belanda. Hal ini memberikan kesernpatan pada kampung-kampung di atas untuk berkernbang pesat. Segi negatip dari keadaan ini adalah adanya perkembangan tak terkendali dari sejurnlah kampung sehingga terjadi kampung-kampung yang standard huniannya sangat rendah dan kepadatannya sangat tinggi, yang pada urnurnnya terdapat di daerah pusat kota atau dekat jalur-jalur komunikasi atau pusat-pusat kegiatan yang dibangun Belanda.
Ketika Jepang masuk Indonesia, kota Batavia diganti namanya menjadi Jakarta. Pada saat ini balk kota Jakarta maupun kampung-kampung di dalamnya telah berkembang cepat. Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, di Jakarta pada saat ini telah terdapat tiga (3) tipologi karnpung yaitu :
Kampung Kota yang terletak dekat pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi.
Kampung Pinggiran, berada di daerah pinggiran kota tetapi masih termasuk ke dalam batas wilayah dan kegiatan kota, berkepadatan antara rendah dan sedang, tapi kadang-kadang ada yang tinggi.
Kampung Pedesaan; kebanyakan berada di luar batas wilayah dan kegitan perkotaan, berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan.
Banyak kampung-kampung yang termasuk kampung kota dan kampung pinggiran berkembang setelah Belanda menguasai Jakarta. Demikian pula, hampir semua permukiman yang terbentuk berdasarkan pengelompokan etnis terdapat pada kampung kota dan kampung pinggiran. Sebaliknya kampung-kampung pedesaan yang terdapat di daerah dalam kebanyakan sudah berdiri sejak sebelum Belanda masuk Jakarta (contoh : Condet). Karenanya, sifat Betawi "asli" dari kampung-kampung pedesaan lebih kuat dari kampung-kampung pada tipologi lainnya. (Rumah Tradisional Betawi : Dinas Kebudayaan).
Karena daya tarik Jakarta tersebut, pada tahun 1522 Portugis masuk ke Jakarta dan membuat perjanjian dengan raja Pajajaran, yang antara lain mengijinkan Portugis membangun Benteng di Sunda Kelapa. Pada masa inilah kekuatan urbanisme baru mulai diperkenalkan pada Jakarta yang secara pasti merubah urban landscape dari suatu kota, pantai asli dengan kompleks keraton sebagai unsur penting daripadanya, menjadi kota yang berwajah "Eropa", melalui berbagai proses perebutan kekuasaan dan lain-lain yang disertai dengan pembangunan benteng dan berbagai fasilitas lainnya di atas lokasi yang menjadi cikal bakal kota Jakarta oleh berbagal pihak yang terlibat dalam proses tersebut.
Proses ini dimulai dengan tidak dapat diterimanya perjanjian tersebut oleh kerajaan Islam di Demak yang kemudian menyerang dan menduduki Sunda Kelapa pada tahun 1527 di bawah Fatahillah. Atas kemenangannya ini Fatahillah kemudian menamakan Sunda kelapa dengan "Jayakarta", yang artinya adalah "kemenangan berjaya". Dan beberapa saat kemudian oleh Fatahillah Jayakarta dikembangkan di sebelah Barat Sungai Ciliwung sehingga menjadi suatu kota pelabuhan atau kota pantai yang penting. Sementara itu, di sebelah Timur Sungai Ciliwung berkembang pula permukiman yang dihuni orang-orang Cina yang melakukan aktifitas perdagangan di sini.
Pada tahun 1617 di atas pernukiman Cina tersebut Belanda mendapat ijin membangun sebuah kantor dagang. Tetapi kesempatan ini juga ternyata disalah gunakan untuk membangun benteng yang sangat tidak disukai oleh Jayakarta. Karenanya Belanda kemudian mendapatkan kesukaran dari Jayakarta yang disokong oleh Banten, dan Inggris. Hal ini yang kemudian menjadi sebab terjadinya permusuhan antara Belanda dengan ketiga kekuatan lainnya tersebut.
Dengan bantuan kekuatan Belanda yang dari Maluku, pada tahun 1619 Jayakarta. ditundukkan Belanda di bawah pimpinan J.P. Coen. Kota Jayakarta di sebelah Barat Sungai Ciliwung dihancurkan dan Coen kernudian membangun kota dengan gaya kota Belanda di sebelah Timur Ciliwung. Nama Jayakarta kernudian diubah menjadi Batavia. Dan sejak saat ini perkembangan kota Jakarta banyak ditentukan oleh konsep-konsep perencanaan kota Belanda/Eropa.
Walaupun di satu pihak perkembangan Jakarta banyak ditentukan oleh aktifitas orang-orang Belanda dan melahirkan bagian kota yang mirip kota di Belanda, di pihak lainnya tumbuh permukiman kaum pribumi yang memiliki ciri-ciri pertumbuhannya sendiri. Di daerah pantai, permukiman pribumi tersebut merupakan permukiman nelayan, dan di daerah hinterland (dalam) permukiman ini merupakan permukiman yang bercirikan desa pertanian/perkebunan. Yang di daerah pantai kebanyakan dihuni oleh orang-orang Jawa, Cina dan pendatang lainnya; sedangkan yang dibagian dalam dihuni oleh orang-orang Sunda, Jawa dan "Betawi". Permukiman-permukiman ini merupakan permukiman "asli" yang berbeda dengan permukiman Belanda.
Pada abad 17 dan 18, Jakarta merupakan kota tempat berimigrasinya orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya dari Melayu, Ambon, Bugis dan Bali. Kedatangan mereka pada umumnya memiliki kaitan dengan kegiatan perdagangan yang berkembang pesat di Jakarta. Dan mereka membentuk permukiman menurut latar belakang etnisnya, yang biasanya terdapat di dekat jalur-jalur komunikasi dan pusat-pusat yang dibangun Belanda. Permukiman-permukiman inipun bisa dikategorikan sebagai permukiman "asli" karena turnbuh menurut aturan-aturan sendiri dari & masing-masing kelompok etnis yang bersangkutan.
Dengan adanya pertumbuhan permukiman-permukiman asli tersebut, yang terkelompok-kelompok menurut latar belakang etnis masing-masing penduduknya, pada sekitar tahun 1840-an istilah "kampung" pertama kali dikenal yang mengindikasikan "permukiman asli" yang dibedakan dari istilah "kota" untuk permukiman Belanda, yang nampaknya muncul dari istilah compound. Sejak saat ini dikenal istilah kampung Melayu, kampung Bali dan sebagainya, yang menandai latar belakang etnis masing-masing pemukimnya. Kampung-kampung inilah yang berkembang sejak abad 17, yang bersama-sama kampung-kampung di daerah dalam dan di daerah pantai, kemudian menjadi kampung-kampung Betawi yang dikenal sekarang.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Undang-undang pemerintahan Hindia Belanda, membedakan peraturan bagi permukiman Belanda (Bebouwde Kom) dari permukiman kampung (yang disebut Inlandsche Gemeenten) dengan aturan pembangunannya masing-masing. Atau dengan kata lain, selama masa ini ada semacam "otonomi" bagi kampung-karnpung yang termasuk ke dalam Inlandsche Gemeenten untuk mengatur perkembangan/pembangunannya sendiri di luar aturan-aturan pernbangunan kota yang diperuntukan bagi permukiman Belanda. Hal ini memberikan kesernpatan pada kampung-kampung di atas untuk berkernbang pesat. Segi negatip dari keadaan ini adalah adanya perkembangan tak terkendali dari sejurnlah kampung sehingga terjadi kampung-kampung yang standard huniannya sangat rendah dan kepadatannya sangat tinggi, yang pada urnurnnya terdapat di daerah pusat kota atau dekat jalur-jalur komunikasi atau pusat-pusat kegiatan yang dibangun Belanda.
Ketika Jepang masuk Indonesia, kota Batavia diganti namanya menjadi Jakarta. Pada saat ini balk kota Jakarta maupun kampung-kampung di dalamnya telah berkembang cepat. Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, di Jakarta pada saat ini telah terdapat tiga (3) tipologi karnpung yaitu :
Kampung Kota yang terletak dekat pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi.
Kampung Pinggiran, berada di daerah pinggiran kota tetapi masih termasuk ke dalam batas wilayah dan kegiatan kota, berkepadatan antara rendah dan sedang, tapi kadang-kadang ada yang tinggi.
Kampung Pedesaan; kebanyakan berada di luar batas wilayah dan kegitan perkotaan, berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan.
Banyak kampung-kampung yang termasuk kampung kota dan kampung pinggiran berkembang setelah Belanda menguasai Jakarta. Demikian pula, hampir semua permukiman yang terbentuk berdasarkan pengelompokan etnis terdapat pada kampung kota dan kampung pinggiran. Sebaliknya kampung-kampung pedesaan yang terdapat di daerah dalam kebanyakan sudah berdiri sejak sebelum Belanda masuk Jakarta (contoh : Condet). Karenanya, sifat Betawi "asli" dari kampung-kampung pedesaan lebih kuat dari kampung-kampung pada tipologi lainnya. (Rumah Tradisional Betawi : Dinas Kebudayaan).
ANTROPOLOGI BETAWI
Betawi dan Akar Sosial Budaya
Fungsi yang demikian sarat, telah menjadikan Jakarta sebagai melting-pot. Tempat bertemu aneka suku bangsa, agama
dan budaya. Ini nampak sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan profil masyarakat Betawi. Dan setidaknya,
sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, menyajikan kenyataan itu.
"Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven," kata si sopir bajaj. "Oke deh, ane reken isi dompet
dulu. Bangsa goban sih ada," jawab si penumpang.
Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane - saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa
(goban - lima puluh ribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah
satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan. Dalam
pada itu, seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi, Ridwan Saidi, sambil mengutip pendapat Bern
Nothover (1995), mencatat bahwa, apa yang dikenal kini sebagai Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu dialek Nusa
Kalapa (bersama Pakuan merupakan dua kota penting pada jaman kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi yang
kemudian namanya berganti menjadi Jakarta) yang telah dipergunakan di Jakarta paling sedikit sejak abad 10 (Babad
Tanah Betawi, 2002). Penduduk Nusa Kalapa sendiri sebelum abad 10, sebagaimana halnya seluruh penduduk Nusa
Jawa, besar kemungkinan berbahasa Kawi atau Jawi. Memang, tidak semua kosa kata Betawi lama berasal dari bahasa
Kawi/Jawi, karena juga terdapat campuran bahwa Melayu Polinesia, dan kemudian pada abad 16 mendapat pengaruh
Portugis, di samping juga pengaruh bahasan Sunda pada abad 14, ketika kekuasaan Sunda memfungsikan pelabuhan
Kalapa, dan bahasa-bahasa lain pada masa-masa berikutnya.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil
perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan
asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik
Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum
abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda,
terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di
semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan
dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang
terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten
bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini
mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan
kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman,
antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan
bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum
sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan
menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit
sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian
besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali
menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan
perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat
Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan 'Cina Benteng' di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama
dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa
adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab,
sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang
bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan
Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri
Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk
dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang
Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah
dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok
terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga
dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai
diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja
Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun ribuan orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di
dalam dan di luar kota.
Di luar kota pada tahun 1673 hidup kurang lebih lima ribu orang Indonesia dan kurang lebih enam ratus Indo-Belanda.
Orang-orang Indonesia bebas datang ke Batavia, terutama dari luar Jawa, semisal Sulawesi Selatan, Banda, Ambon dan
Bali. Di antara orang Indonesia itu beberapa diantaranya mencapai posisi cukup baik, misalnya para kapten yang sering
memperoleh tanah luas, orang Bali yang mengimpor budak, pemilik kapal Bugis dan Melayu serta para mandor dari Jawa
(pemahaman masa itu tentang orang Jawa sering mencakup orang dari Banten sampai Jawa Timur serta bahkan dari
Kampung Jawa di Palembang) yang mendatangkan kuli-kuli untuk perkebunan tebu, bengkel kayu serta galangan kapal.
Beberapa nyai termasuk juga kelompok orang berada. Nyanya Rokya misalnya, pada tahun 1816 memiliki dua puluh dua
budak belian. Adapun tentang apa yang disebut dengan "orang" atau "Suku Betawi" sebenarnya terhitung pendatang baru
di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki
Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau
golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang
Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada
awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut
diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam
lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar
mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Simpul terakhr yang berpijak pada berita resmi
Kolonial itu ditolak keras Ridwan Saidi. Alasan tokoh Betawi ini dilandaskan pada teori Bern Nothofer, jauh sebelum
Belanda tiba di wilayah ini, antara abad 8-10, demi mempertahankan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya atas tanah Nusa
Kalapa telah menghadirkan migran Suku Melayu yang berasal dari Kalimantan Barat, yang juga sekaligus menjadi awal
penyebaran secara meluas bahsa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa
Sunda Kawi.
Selain itu, sejak masa Salakanagara, diduga muncul pada tahun 130 M, orang Nusa Kalapa sudah mulai mengenal
masyarakat internasional melalui kedatangan para pelancong dari India, Cina dan Arab. Pengenalan meluas ketika
pelabuhan Kapala menjadi pelabuhan samudra pada abad ke-14. Dan, pada abad ke-16 orang Betawimengenal orang
Portugis, kemudian pada abad ke-17 mengenal orang Belanda dan pada permulaan abad ke-19 orang Betawi mengenal
orang Perancis dan Inggris, serta sejak pertengahan abad ke-19 secara pro-aktif orang Betawi mengenal masyarakat
internasional melalui pelayanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Terlepas dari semua itu, sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta pada umumnya,
dan Jakarta Pusat pada khususnya dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun
juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta
penduduk Jakarta pada waktu itu. Adapun di Jakarta Pusat, menurut Sensus tahun 2000, populasi penduduk dengan etnis
Betawi ini masih cukup tinggi, mencapai 31,16 persen, tersebar di semua Kecamatan di Jakarta Pusat, dengan dominasi
utama di Kecamatan Kemayoran dan Tanah Abang. Memang, sebagian dari ereka semakin telah terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Namun sebetulnya, 'suku' Betawi tidaklah pernah tergusur atau
digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan
melalui proses panjang itu pulalah 'suku' Betawi hadir di bumi Nusantara.
sumber: http://www.bapekojakartapusat.go.id/node/14
Fungsi yang demikian sarat, telah menjadikan Jakarta sebagai melting-pot. Tempat bertemu aneka suku bangsa, agama
dan budaya. Ini nampak sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan profil masyarakat Betawi. Dan setidaknya,
sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, menyajikan kenyataan itu.
"Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven," kata si sopir bajaj. "Oke deh, ane reken isi dompet
dulu. Bangsa goban sih ada," jawab si penumpang.
Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane - saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa
(goban - lima puluh ribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah
satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan. Dalam
pada itu, seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi, Ridwan Saidi, sambil mengutip pendapat Bern
Nothover (1995), mencatat bahwa, apa yang dikenal kini sebagai Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu dialek Nusa
Kalapa (bersama Pakuan merupakan dua kota penting pada jaman kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi yang
kemudian namanya berganti menjadi Jakarta) yang telah dipergunakan di Jakarta paling sedikit sejak abad 10 (Babad
Tanah Betawi, 2002). Penduduk Nusa Kalapa sendiri sebelum abad 10, sebagaimana halnya seluruh penduduk Nusa
Jawa, besar kemungkinan berbahasa Kawi atau Jawi. Memang, tidak semua kosa kata Betawi lama berasal dari bahasa
Kawi/Jawi, karena juga terdapat campuran bahwa Melayu Polinesia, dan kemudian pada abad 16 mendapat pengaruh
Portugis, di samping juga pengaruh bahasan Sunda pada abad 14, ketika kekuasaan Sunda memfungsikan pelabuhan
Kalapa, dan bahasa-bahasa lain pada masa-masa berikutnya.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil
perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan
asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik
Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum
abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda,
terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di
semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan
dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang
terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten
bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini
mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan
kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman,
antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan
bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum
sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan
menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit
sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian
besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali
menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan
perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat
Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan 'Cina Benteng' di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama
dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa
adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab,
sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang
bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan
Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri
Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk
dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang
Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah
dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok
terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga
dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai
diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja
Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun ribuan orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di
dalam dan di luar kota.
Di luar kota pada tahun 1673 hidup kurang lebih lima ribu orang Indonesia dan kurang lebih enam ratus Indo-Belanda.
Orang-orang Indonesia bebas datang ke Batavia, terutama dari luar Jawa, semisal Sulawesi Selatan, Banda, Ambon dan
Bali. Di antara orang Indonesia itu beberapa diantaranya mencapai posisi cukup baik, misalnya para kapten yang sering
memperoleh tanah luas, orang Bali yang mengimpor budak, pemilik kapal Bugis dan Melayu serta para mandor dari Jawa
(pemahaman masa itu tentang orang Jawa sering mencakup orang dari Banten sampai Jawa Timur serta bahkan dari
Kampung Jawa di Palembang) yang mendatangkan kuli-kuli untuk perkebunan tebu, bengkel kayu serta galangan kapal.
Beberapa nyai termasuk juga kelompok orang berada. Nyanya Rokya misalnya, pada tahun 1816 memiliki dua puluh dua
budak belian. Adapun tentang apa yang disebut dengan "orang" atau "Suku Betawi" sebenarnya terhitung pendatang baru
di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki
Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau
golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang
Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada
awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut
diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam
lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar
mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Simpul terakhr yang berpijak pada berita resmi
Kolonial itu ditolak keras Ridwan Saidi. Alasan tokoh Betawi ini dilandaskan pada teori Bern Nothofer, jauh sebelum
Belanda tiba di wilayah ini, antara abad 8-10, demi mempertahankan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya atas tanah Nusa
Kalapa telah menghadirkan migran Suku Melayu yang berasal dari Kalimantan Barat, yang juga sekaligus menjadi awal
penyebaran secara meluas bahsa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa
Sunda Kawi.
Selain itu, sejak masa Salakanagara, diduga muncul pada tahun 130 M, orang Nusa Kalapa sudah mulai mengenal
masyarakat internasional melalui kedatangan para pelancong dari India, Cina dan Arab. Pengenalan meluas ketika
pelabuhan Kapala menjadi pelabuhan samudra pada abad ke-14. Dan, pada abad ke-16 orang Betawimengenal orang
Portugis, kemudian pada abad ke-17 mengenal orang Belanda dan pada permulaan abad ke-19 orang Betawi mengenal
orang Perancis dan Inggris, serta sejak pertengahan abad ke-19 secara pro-aktif orang Betawi mengenal masyarakat
internasional melalui pelayanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Terlepas dari semua itu, sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta pada umumnya,
dan Jakarta Pusat pada khususnya dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun
juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta
penduduk Jakarta pada waktu itu. Adapun di Jakarta Pusat, menurut Sensus tahun 2000, populasi penduduk dengan etnis
Betawi ini masih cukup tinggi, mencapai 31,16 persen, tersebar di semua Kecamatan di Jakarta Pusat, dengan dominasi
utama di Kecamatan Kemayoran dan Tanah Abang. Memang, sebagian dari ereka semakin telah terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Namun sebetulnya, 'suku' Betawi tidaklah pernah tergusur atau
digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan
melalui proses panjang itu pulalah 'suku' Betawi hadir di bumi Nusantara.
sumber: http://www.bapekojakartapusat.go.id/node/14
Pengaruh Budaya Tionghoa dalam Budaya Betawi
Orang Tionghoa sudah lama sekali berada di Jakarta. Pada waktu Belanda pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jayakarta di sana sudah ada pemukiman Tionghoa di muara sungai Ciliwung. Ini menunjukkan bahwa hubungan yang sangat baik antara etnik yang di kemudian hari dikenal sebagai etnik Betawi dengan etnik Tionghoa sudah berlangsung sangat lama, jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat ke Nusantara.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian bagian selatan (Ban-lam). Yang dimaksud dengan Hokkian selatan ialah wilayah sekitar Ciangciu (Zhangzhou), Emui (Xiamen) dan Coanciu (Quanzhou)
Maka dari itu secara umum pengaruh Tionghoa yang masuk ke dalam budaya Betawi adalah budaya Hokkian selatan, bukan dari bagian lain negeri Cina. Bahwasanya budaya Hokkian selatanlah yang sangat besar pengaruhnya tampak dari istilah-istilah Hokkian selatan yang sampai sekarang masih dikenal di kalangan Tionghoa peranakan dan sebagian telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Betawi.
Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, seperti dikutib Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat-istiadat Betawi mirip adat-istiadat Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri juga seperti orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi, dan jika makan memakai meja, tida bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga belajar silat dari orang Tionghoa. Orang Betawi tida punya rasa takut (alias pede?) disebabkan pengaruh orang Tionghoa.
Kalau di wilayah budaya Jawa, misalnya, etnik Tionghoa peranakan sangat dipengaruhi budaya Jawa sehingga sejak dahulu tida sedikit di antara mereka yang boleh dibilang pakar dalam kebudayaan Jawa: gamelan Jawa, tari Jawa, wayang wong, dan lain-lain, maka menurut pengamatan saya di Jakarta ini interaksi budaya—dalam arti saling mempengaruhi—antara kedua belah pihak sangat kuat. Di satu pihak etnik Tionghoa, khususnya peranakan, sangat dipengaruhi budaya Betawi, di lain pihak etnik Betawi juga sangat dipengaruhi budaya Tionghoa. Begitu dekatnya hubungan budaya antara kedua etnik ini, sehingga seorang sobat saya dari etnik Betawi berseloroh, "Betawi ame Cine ubungannye kaye gigi ame bibir aje."
Di bawah ini ada banyak istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa. Istilah-istilah dalam dialek Hokkian selatan itu saya letakkan di dalam kurung dan ditulis sesuai lafal aslinya menurut kamus.
Bahasa Betawi adalah bahasa yang sangat terbuka. Dalam bahasa Betawi sangat banyak kita temukan kata-kata pinjaman (loanwords) dari bahasa Tionghoa, utamanya dialek Hokkian selatan (Ban-lam gi). Kata-kata dalam bahasa Betawi yang berasal dari dialek Hokkian selatan antara lain adalah: kata ganti diri gua (goa) 'saya', dan lu (lu) 'kamu', kata bilangan sederhana: gotun (gou-tun), ' lima perak (rupiah)', captun (cap-tun) 'sepuluh rupiah', cepeh (cit-peh), 'seratus', gopeh (gou-peh) 'lima ratus', ceceng (cit-cheng), 'seribu (rupiah),' goceng (gou-cheng), lima ribu', ceban (cit-ban) 'sepuluh ribu', cetiau (cit-tiau) 'sejuta', liangsim (liang-sim), 'hati nurani' atau 'isi perut', cabo (ca-bou) 'wanita pekerja seks', sue (soe), 'sial atau naas', sue'an 'sialan', dan masih banyak lagi.
Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan (lan-kan) 'balustrade'. Agar tampak indah dan tida kusam, pintu dan jendela harus dicat (chat) ulang setiap tahun. Di dinding tergantung loceng atau lonceng (lo-ceng). Penghuni rumah tidur di pangkeng (pang-keng) 'kamar tidur'. Sebelum tidur orang tentunya ingin kongko (kong-kou) 'mengobrol' terlebih dahulu sambil minum teh (te) dan makan kuaci (koa-ci). Ta'pang (tah-pang) 'balai-balai' atau 'dipan' dipakai untuk rebah-rebahan sambil bersantai.
Untuk memasak di dapur ada langseng (lang-sng) 'dandang', anglo (hang-lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo’ (toh-pou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo-cheng) 'bulu ayam' untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek doeloe orang suka memakai bakiak (bak-kiah) yang tahan air.
Di bidang makanan kecap (ke-ciap) Benteng (Tangerang) memang sudah bekend en tersohor sejak jeman doeloe. Manisan tangkue (tang-koa atau tang-koe) 'beligo' atau 'kundur' memang enak buat dinikmati sembari minum teh. Mi (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu-hi), ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe) tak terpisahkan lagi dengan culinary Betawi. Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku-koe), kue sengkulun (sang-ko-lun) telah menjadi kue-kue khas Betawi. Selain Semarang, ternyata Jakarta juga punya penganan yang namanya lumpia (lun-pian) yang tak kalah sedapnya. Sudah pernah mencoba makan ngohiang (ngou-hiang) alias gohiong? Lantas siapa yang tida kenal ikan cuwe (choe) dan nasi tim (tim)?
Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Petasan (mercon, kata orang Jawa) salah satu contohnya. Di beberapa daerah, suatu pernikahan gaya Betawi takkan lengkap kiranya tanpa bunyi petasan renceng yang memekakkan telinga saat menyambut penganten laki-laki.
Dalam rombongan ngarak penganten di unit kedua ada barisan remaja pesilat berseragam membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang yang disebut toya.
Pengaruh lain ialah dalam pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut putri Cina. Pada Festival Pecinan I di tahun lalu telah kita lihat peragaan upacara perkawinan tradisi Tionghoa peranakan di Tangerang. Bisa kita amati persamaan dan perbedaan antara pakaian penganten perempuan Tionghoa dengan pakaian penganten Betawi yang tentu sudah sering diperagakan. Pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut Putri Cina pada dasarnya sama saja dengan pakaian penganten perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Baju penganten Putri Cina itu terdiri dari: serangkaian Kembang Goyang dengan Burung Hong serta penutup wajah penganten perempuan yang disebut Siangko (pat-sian khou), baju penganten berpotongan Mancu yang mempunyai bukaan di kanan, yang disebut baju Toaki (toa-ki), dan bawahan berupa rok lipit yang disebut Kun (kun). Di bagian bahu dan dadanya penganten perempuan memakai aksesori yang disebut Terate (in-kian). Seperti apa pakaian penganten perempuan Tionghoa peranakan ini dapat dilihat melalui foto sampul KSK edisi perdana Juni 2002 lalu.
Sama seperti orang Tionghoa, orang Betawi pun kalau kondangan lazim memberikan angpau atau ampau, selain barang-barang lain, kepada tuan atau nyonya rumah. Ampau (ang-pau) ialah bingkisan uang yang dimasukkan ke dalam amplop khusus bergaris merah.
Dalam pertemuan-pertemuan kaum Betawi, para lelaki biasanya mengenakan baju tikim (tui-khim)—ada yang menyebutnya baju koko dan sadariah—dengan padanan celana batik dan selendang yang dikalungkan di dada. Celana pangsi (phang-si) berwarna hitam kebanyakan dipakai oleh jago-jago/jawara-jawara. Ibu-ibu sering menggendong anak yang masih kecil dengan cukin (chiu-kin). Untuk ikat pinggang dipakai angkin (ang-kin). Anak-anak kecil doeloe suka mengenakan oto (io-tou) supaya tida mudah masuk angin.
Kalau kondangan banyak kaum perempuan yang memakai Kebaya Encim. Kebaya ini merupakan pengaruh tida langsung orang Tionghoa peranakan terhadap orang Betawi. Walau kebaya ini asalnya dari orang Indo, tapi kemudian dimodifikasi dan diadaptasi oleh kaum perempuan Tionghoa peranakan. Jika kebaya Indo hanya berwarna putih, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan kemudian tida lagi berwarna putih, dan lalu diberi sulaman (bordir) benang berwarna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini. Mulai dari aneka flora, kupu-kupu, dan burung bahkan sampai ke . . . raket tenis! Ujung kebaya yang pada kebaya Indo rata dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang lantas menjadi ciri khas Kebaya Nyonya peranakan. Kebaya yang kini disebut Kebaya Encim ini selanjutnya diadaptasi oleh kaum perempuan Betawi.
Dalam bidang seni musik kontribusi orang Tionghoa, dalam hal ini orang Tionghoa peranakan, yang tida kalah penting adalah musik khas Jakarta yang disebut gambang kromong. Jenis musik ini memang musik pembauran alias campuran, seperti dikatakan sendiri oleh Kwee Kek Beng, seorang wartawan senior, ''Maoe dikata Tionghoa terlaloe Indonesia, maoe dikata Indonesia terlaloe Tionghoa."
Gambang kromong pada mulanya membawakan lagu-lagu instrumentalia dari daerah Hokkian selatan (lagu pobin) dengan iringan gambang, kromong, ningning, kecrek, kendang, goong, suling, dan beberapa instrumen gesek Tionghoa. Instrumen gesek itu terdiri dari: sukong (su-kong) yang besar dan bernada rendah, tehyan (the-hian) yang sedang, dan kongahyan (kong-a-hian) yang paling kecil dan bernada tinggi.
Lagu pobin merupakan lagu terawal gambang kromong, biasanya dimainkan sebagai pembukaan suatu pertunjukan musik gambang kromong. Judulnya masih dalam dialek Hokkian selatan. Judul lagu pobin yang masih dapat sering diperdengarkan antara lain: Khong Ji Liok ('Kosong Dua Enam') dan Peh Pan Thau ('Delapan Ketukan'). Laras (surupan) gambang kromong adalah laras salendro yang juga khas Tionghoa, disebut Salendro Cina. Para pemain (panjak) gambang kromong bisa dari etnik Tionghoa peranakan, bisa dari etnik Betawi, atau campuran antara keduanya.
Selain memainkan lagu-lagu pobin, gambang kromong juga mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan wayang cokek. Wayang adalah 'anak wayang' (aktor atau aktris), sedangkan cokek dari kata chioun-khek yang artinya 'menyanyi' (to sing a song). Wayang cokek menyanyi sambil menari (ngibing) bersama pasangan laki-laki. Selendang untuk menari bersama wayang cokek disebut cukin (chiu-kin) atau soder.
Mengenai istilah kekerabatan orang Betawi menyebut kakenya ngkong (ng-kong), ibunya enya' (ng-nia), paman dan bibinya encing (ng-cim). Dari ketiga istilah kekerabatan ini ngkong-lah yang paling jelas dipinjam dari istilah kekerabatan Hokkian selatan.
Demikianlah bahasan singkat saya tentang berbagai pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Betawi yang berhasil saya telusuri. Pengaruh yang sebenarnya juga berlaku timbal balik antara kedua etnik tersebut. Pengaruh yang mencerminkan kebhinnekaan yang sesungguhnya dalam budaya bangsa kita ini.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian bagian selatan (Ban-lam). Yang dimaksud dengan Hokkian selatan ialah wilayah sekitar Ciangciu (Zhangzhou), Emui (Xiamen) dan Coanciu (Quanzhou)
Maka dari itu secara umum pengaruh Tionghoa yang masuk ke dalam budaya Betawi adalah budaya Hokkian selatan, bukan dari bagian lain negeri Cina. Bahwasanya budaya Hokkian selatanlah yang sangat besar pengaruhnya tampak dari istilah-istilah Hokkian selatan yang sampai sekarang masih dikenal di kalangan Tionghoa peranakan dan sebagian telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Betawi.
Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, seperti dikutib Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat-istiadat Betawi mirip adat-istiadat Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri juga seperti orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi, dan jika makan memakai meja, tida bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga belajar silat dari orang Tionghoa. Orang Betawi tida punya rasa takut (alias pede?) disebabkan pengaruh orang Tionghoa.
Kalau di wilayah budaya Jawa, misalnya, etnik Tionghoa peranakan sangat dipengaruhi budaya Jawa sehingga sejak dahulu tida sedikit di antara mereka yang boleh dibilang pakar dalam kebudayaan Jawa: gamelan Jawa, tari Jawa, wayang wong, dan lain-lain, maka menurut pengamatan saya di Jakarta ini interaksi budaya—dalam arti saling mempengaruhi—antara kedua belah pihak sangat kuat. Di satu pihak etnik Tionghoa, khususnya peranakan, sangat dipengaruhi budaya Betawi, di lain pihak etnik Betawi juga sangat dipengaruhi budaya Tionghoa. Begitu dekatnya hubungan budaya antara kedua etnik ini, sehingga seorang sobat saya dari etnik Betawi berseloroh, "Betawi ame Cine ubungannye kaye gigi ame bibir aje."
Di bawah ini ada banyak istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa. Istilah-istilah dalam dialek Hokkian selatan itu saya letakkan di dalam kurung dan ditulis sesuai lafal aslinya menurut kamus.
Bahasa Betawi adalah bahasa yang sangat terbuka. Dalam bahasa Betawi sangat banyak kita temukan kata-kata pinjaman (loanwords) dari bahasa Tionghoa, utamanya dialek Hokkian selatan (Ban-lam gi). Kata-kata dalam bahasa Betawi yang berasal dari dialek Hokkian selatan antara lain adalah: kata ganti diri gua (goa) 'saya', dan lu (lu) 'kamu', kata bilangan sederhana: gotun (gou-tun), ' lima perak (rupiah)', captun (cap-tun) 'sepuluh rupiah', cepeh (cit-peh), 'seratus', gopeh (gou-peh) 'lima ratus', ceceng (cit-cheng), 'seribu (rupiah),' goceng (gou-cheng), lima ribu', ceban (cit-ban) 'sepuluh ribu', cetiau (cit-tiau) 'sejuta', liangsim (liang-sim), 'hati nurani' atau 'isi perut', cabo (ca-bou) 'wanita pekerja seks', sue (soe), 'sial atau naas', sue'an 'sialan', dan masih banyak lagi.
Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan (lan-kan) 'balustrade'. Agar tampak indah dan tida kusam, pintu dan jendela harus dicat (chat) ulang setiap tahun. Di dinding tergantung loceng atau lonceng (lo-ceng). Penghuni rumah tidur di pangkeng (pang-keng) 'kamar tidur'. Sebelum tidur orang tentunya ingin kongko (kong-kou) 'mengobrol' terlebih dahulu sambil minum teh (te) dan makan kuaci (koa-ci). Ta'pang (tah-pang) 'balai-balai' atau 'dipan' dipakai untuk rebah-rebahan sambil bersantai.
Untuk memasak di dapur ada langseng (lang-sng) 'dandang', anglo (hang-lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo’ (toh-pou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo-cheng) 'bulu ayam' untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek doeloe orang suka memakai bakiak (bak-kiah) yang tahan air.
Di bidang makanan kecap (ke-ciap) Benteng (Tangerang) memang sudah bekend en tersohor sejak jeman doeloe. Manisan tangkue (tang-koa atau tang-koe) 'beligo' atau 'kundur' memang enak buat dinikmati sembari minum teh. Mi (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu-hi), ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe) tak terpisahkan lagi dengan culinary Betawi. Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku-koe), kue sengkulun (sang-ko-lun) telah menjadi kue-kue khas Betawi. Selain Semarang, ternyata Jakarta juga punya penganan yang namanya lumpia (lun-pian) yang tak kalah sedapnya. Sudah pernah mencoba makan ngohiang (ngou-hiang) alias gohiong? Lantas siapa yang tida kenal ikan cuwe (choe) dan nasi tim (tim)?
Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Petasan (mercon, kata orang Jawa) salah satu contohnya. Di beberapa daerah, suatu pernikahan gaya Betawi takkan lengkap kiranya tanpa bunyi petasan renceng yang memekakkan telinga saat menyambut penganten laki-laki.
Dalam rombongan ngarak penganten di unit kedua ada barisan remaja pesilat berseragam membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang yang disebut toya.
Pengaruh lain ialah dalam pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut putri Cina. Pada Festival Pecinan I di tahun lalu telah kita lihat peragaan upacara perkawinan tradisi Tionghoa peranakan di Tangerang. Bisa kita amati persamaan dan perbedaan antara pakaian penganten perempuan Tionghoa dengan pakaian penganten Betawi yang tentu sudah sering diperagakan. Pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut Putri Cina pada dasarnya sama saja dengan pakaian penganten perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Baju penganten Putri Cina itu terdiri dari: serangkaian Kembang Goyang dengan Burung Hong serta penutup wajah penganten perempuan yang disebut Siangko (pat-sian khou), baju penganten berpotongan Mancu yang mempunyai bukaan di kanan, yang disebut baju Toaki (toa-ki), dan bawahan berupa rok lipit yang disebut Kun (kun). Di bagian bahu dan dadanya penganten perempuan memakai aksesori yang disebut Terate (in-kian). Seperti apa pakaian penganten perempuan Tionghoa peranakan ini dapat dilihat melalui foto sampul KSK edisi perdana Juni 2002 lalu.
Sama seperti orang Tionghoa, orang Betawi pun kalau kondangan lazim memberikan angpau atau ampau, selain barang-barang lain, kepada tuan atau nyonya rumah. Ampau (ang-pau) ialah bingkisan uang yang dimasukkan ke dalam amplop khusus bergaris merah.
Dalam pertemuan-pertemuan kaum Betawi, para lelaki biasanya mengenakan baju tikim (tui-khim)—ada yang menyebutnya baju koko dan sadariah—dengan padanan celana batik dan selendang yang dikalungkan di dada. Celana pangsi (phang-si) berwarna hitam kebanyakan dipakai oleh jago-jago/jawara-jawara. Ibu-ibu sering menggendong anak yang masih kecil dengan cukin (chiu-kin). Untuk ikat pinggang dipakai angkin (ang-kin). Anak-anak kecil doeloe suka mengenakan oto (io-tou) supaya tida mudah masuk angin.
Kalau kondangan banyak kaum perempuan yang memakai Kebaya Encim. Kebaya ini merupakan pengaruh tida langsung orang Tionghoa peranakan terhadap orang Betawi. Walau kebaya ini asalnya dari orang Indo, tapi kemudian dimodifikasi dan diadaptasi oleh kaum perempuan Tionghoa peranakan. Jika kebaya Indo hanya berwarna putih, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan kemudian tida lagi berwarna putih, dan lalu diberi sulaman (bordir) benang berwarna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini. Mulai dari aneka flora, kupu-kupu, dan burung bahkan sampai ke . . . raket tenis! Ujung kebaya yang pada kebaya Indo rata dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang lantas menjadi ciri khas Kebaya Nyonya peranakan. Kebaya yang kini disebut Kebaya Encim ini selanjutnya diadaptasi oleh kaum perempuan Betawi.
Dalam bidang seni musik kontribusi orang Tionghoa, dalam hal ini orang Tionghoa peranakan, yang tida kalah penting adalah musik khas Jakarta yang disebut gambang kromong. Jenis musik ini memang musik pembauran alias campuran, seperti dikatakan sendiri oleh Kwee Kek Beng, seorang wartawan senior, ''Maoe dikata Tionghoa terlaloe Indonesia, maoe dikata Indonesia terlaloe Tionghoa."
Gambang kromong pada mulanya membawakan lagu-lagu instrumentalia dari daerah Hokkian selatan (lagu pobin) dengan iringan gambang, kromong, ningning, kecrek, kendang, goong, suling, dan beberapa instrumen gesek Tionghoa. Instrumen gesek itu terdiri dari: sukong (su-kong) yang besar dan bernada rendah, tehyan (the-hian) yang sedang, dan kongahyan (kong-a-hian) yang paling kecil dan bernada tinggi.
Lagu pobin merupakan lagu terawal gambang kromong, biasanya dimainkan sebagai pembukaan suatu pertunjukan musik gambang kromong. Judulnya masih dalam dialek Hokkian selatan. Judul lagu pobin yang masih dapat sering diperdengarkan antara lain: Khong Ji Liok ('Kosong Dua Enam') dan Peh Pan Thau ('Delapan Ketukan'). Laras (surupan) gambang kromong adalah laras salendro yang juga khas Tionghoa, disebut Salendro Cina. Para pemain (panjak) gambang kromong bisa dari etnik Tionghoa peranakan, bisa dari etnik Betawi, atau campuran antara keduanya.
Selain memainkan lagu-lagu pobin, gambang kromong juga mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan wayang cokek. Wayang adalah 'anak wayang' (aktor atau aktris), sedangkan cokek dari kata chioun-khek yang artinya 'menyanyi' (to sing a song). Wayang cokek menyanyi sambil menari (ngibing) bersama pasangan laki-laki. Selendang untuk menari bersama wayang cokek disebut cukin (chiu-kin) atau soder.
Mengenai istilah kekerabatan orang Betawi menyebut kakenya ngkong (ng-kong), ibunya enya' (ng-nia), paman dan bibinya encing (ng-cim). Dari ketiga istilah kekerabatan ini ngkong-lah yang paling jelas dipinjam dari istilah kekerabatan Hokkian selatan.
Demikianlah bahasan singkat saya tentang berbagai pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Betawi yang berhasil saya telusuri. Pengaruh yang sebenarnya juga berlaku timbal balik antara kedua etnik tersebut. Pengaruh yang mencerminkan kebhinnekaan yang sesungguhnya dalam budaya bangsa kita ini.
Gambang Kromong
Gambang keromong (sering pula ditulis gambang kromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat musik umum. Sebutan gambang keromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan keromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang keromong tidak lepas dari seorang pimpinan golongan Cina yang bernama Nie Hu-kong.
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Keromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang keromong adalah tangga nada pentatonik Cina. Instrumen pada gambang keromong terdiri atas gong, gendang, suling, bonang, kecrek, dan rebab atau biola sebagai pembawa melodi.
Orkes gambang keromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan, dan sebagainya.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang keromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya.
Gambang keromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya. Jika lebih banyak penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes gambang keromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup gambang keromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang keromong kombinasi". Gambang keromong kombinasi adalah orkes gambang keromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal tersebut tidak mengurangi ke-khasan suara gambang keromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan.
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Keromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang keromong adalah tangga nada pentatonik Cina. Instrumen pada gambang keromong terdiri atas gong, gendang, suling, bonang, kecrek, dan rebab atau biola sebagai pembawa melodi.
Orkes gambang keromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan, dan sebagainya.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang keromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya.
Gambang keromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya. Jika lebih banyak penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes gambang keromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup gambang keromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang keromong kombinasi". Gambang keromong kombinasi adalah orkes gambang keromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal tersebut tidak mengurangi ke-khasan suara gambang keromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan.
LENONG
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.
Jenis lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.
Lenong Masih Menarik Warga Pinggiran
”Pokoknya Neng tanya tukang ojek, pasti mereka tahu di mana ada lenong,” begitulah jawaban Mpok Nori dari Grup Lenong Betawi Sinar Noray ketika dimintai ancar-ancar tempat mereka berpentas.
Minggu, 3 Juli, lalu Sinar Noray yang dipimpinnya memang mendapat order mengisi acara perkawinan di Desa Paku Jaya, Pondok Kacang. Suatu desa di pinggiran Jakarta , persisnya di belakang kompleks perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang.
Maka setelah menyusur beberapa kilometer jalan sempit di balik tembok perumahan, naik turun jalan berlubang yang becek, melintasi kebun dan persawahan, serta tentu saja bolak- balik bertanya kepada tukang ojek dan penjaga warung, ketemu jugalah Paku Jaya.
Ternyata desa itu tidak jauh dari kompleks Graha Raya Bintaro, dikepung beberapa cluster perumahan. Siapa menduga di lingkungan yang bagus itu ada sebuah desa di mana masyarakatnya keluar masuk melalui pintu butulan persis di belakang pos satpam sebuah cluster.
Gara-gara informasi Desa Paku Jaya masuk Kecamatan Serpong, jadilah perjalanan mencari desa tersebut berawal dari bundaran air mancur BSD dan menempuh jalan yang berliku.
Hari itu tak cuma lenong yang ditanggap si pemilik hajatan, tetapi juga musik dangdut. Jadilah sejak pukul satu siang kelompok Mpok Nori sudah memeriahkan acara.
Informasi bakal ada dangdut dan lenong begitu cepat menyebar ke seantero pinggiran Jakarta . Dalam perjalanan mencari desa tersebut, misalnya, hampir semua orang yang ditanya tahu benar di mana letak keramaian itu berlangsung.
” Kan di undangan yang dikirim ditulis ada pertunjukan lenong. Makanya dari yang nongkrong-nongkrong sampai sopir angkot juga tahu bakal ada lenong di sini,” kata pengojek yang jadi juru parkir dadakan.
Saat anak buahnya berdangdut ria di siang terik itu, Mpok Nori menumpang duduk di rumah salah satu warga. Ia sibuk melayani belasan penggemarnya yang sekadar bersalaman maupun berfoto bersama.
”Jam empat sore kami break. Jam delapan malam mulai lagi bunyi-bunyian gambang keromong dan dangdut. Lenongnya baru main jam 11 malam,” kata Mpok Nori.
Awak panggung Sinar Noray yang pada kesempatan itu total 70 orang sebagian istirahat, tidur-tiduran di lantai teras.
Petang makin ramai
Menjelang petang, keramaian makin terasa. Puluhan penjaja makanan, mulai dari bakso, soto kikil, sate kambing, kacang goreng, hingga tahu/tempe goreng, mengatur diri di belakang panggung dan pinggir lapangan yang dipenuhi ilalang tinggi.
Seperti air, penonton tak henti-hentinya mengalir. Mereka datang berbondong-bondong dari Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Jengkol, Pondok Kacang, Pondok Serut, Tajur, Kunciran, dan Cipete.
Ada yang berboncengan naik motor, jalan kaki, bahkan menumpang mobil bak terbuka. Kelompok undangan yang berdandan cantik dan necis berbaur dengan mereka yang sekadar ingin menonton lenong.
Di pintu butulan cluster perumahan, sepeda motor terus keluar masuk. Ratusan penonton yang meruah kontras dengan situasi cluster perumahan yang sunyi senyap.
Mereka asal duduk. Asap rokok mengepul di mana-mana. Semua terhanyut menikmati lenong, bahkan juga anak-anak kecil yang duduk di pinggir panggung dan bertahan hingga dini hari.
Banyolan sederhana, gerakan lucu yang diulang-ulang, sudah mengundang gelak tawa. Cerita bukan yang utama di sini. Jangan heran bila judul ”Siluman Babi Ngepet” pun baru diketahui pemain menjelang pentas.
”Jangan sampai judul yang pernah dimainkan di seputar sini diulang lagi,” kata Sumarto, menantu Mpok Nori, yang bertugas menentukan judul.
”Kami selalu siap main cerita apa saja. Sudah biasa kok improvisasi,” kata Mpok Nori menjelaskan.
Sayangnya, pementasan lenong Betawi kini tak sesering dulu. Di tahun 1980-1990-an, sebuah grup lenong bisa pentas delapan kali sebulan. Kini sebulan-dua bulan pun belum tentu ada order.
Maka ikatan keanggotaan menjadi amat cair. Kalau tak ada order, boleh saja para anggota ikut main kelompok lain. Memprihatinkan? Itulah kenyataannya.
Sedikit tentang Topeng Betawi
ami sudah mahfum kalau dari dunia Lenong tidak dapat dikesampingkan bintang lenong “Bokir” yang giginya nyerongos dan logatnya asli Betawi. Ayah Bokir, Dji’un, juga seorang pemain topeng Betawi semasa kolonial. Hampir seluruh hidup Bokir dipersembahkan untuk kesenian topeng dan lenong Betawi. Ia sudah bermain topeng Betawi sejak usia 13 tahun. Pada mulanya ia sebagai pemain kendang sampai rebab. Kemudian ia mendirikan dan memimpin kelompok topeng Betawi Setia Warga sejak tahun 1960-an hingga akhir hayatnya. Pada awal tahun 1970-an Setia Warga sering tampil di TVRI.
Penampilan terakhir Bokir dan kelompoknya, September 2002 lalu, di sebuah hajatan perkawinan di Cilangkap. Mereka memainkan cerita Salah Denger yang-antara lain-didukung Bolot, Malih, dan Bodong. Mandra dan Omas, pemain topeng betawi yang kemudian sebagai pemain sinetron, adalah keponakan Bokir. (IM)
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.
Jenis lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.
Lenong Masih Menarik Warga Pinggiran
”Pokoknya Neng tanya tukang ojek, pasti mereka tahu di mana ada lenong,” begitulah jawaban Mpok Nori dari Grup Lenong Betawi Sinar Noray ketika dimintai ancar-ancar tempat mereka berpentas.
Minggu, 3 Juli, lalu Sinar Noray yang dipimpinnya memang mendapat order mengisi acara perkawinan di Desa Paku Jaya, Pondok Kacang. Suatu desa di pinggiran Jakarta , persisnya di belakang kompleks perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang.
Maka setelah menyusur beberapa kilometer jalan sempit di balik tembok perumahan, naik turun jalan berlubang yang becek, melintasi kebun dan persawahan, serta tentu saja bolak- balik bertanya kepada tukang ojek dan penjaga warung, ketemu jugalah Paku Jaya.
Ternyata desa itu tidak jauh dari kompleks Graha Raya Bintaro, dikepung beberapa cluster perumahan. Siapa menduga di lingkungan yang bagus itu ada sebuah desa di mana masyarakatnya keluar masuk melalui pintu butulan persis di belakang pos satpam sebuah cluster.
Gara-gara informasi Desa Paku Jaya masuk Kecamatan Serpong, jadilah perjalanan mencari desa tersebut berawal dari bundaran air mancur BSD dan menempuh jalan yang berliku.
Hari itu tak cuma lenong yang ditanggap si pemilik hajatan, tetapi juga musik dangdut. Jadilah sejak pukul satu siang kelompok Mpok Nori sudah memeriahkan acara.
Informasi bakal ada dangdut dan lenong begitu cepat menyebar ke seantero pinggiran Jakarta . Dalam perjalanan mencari desa tersebut, misalnya, hampir semua orang yang ditanya tahu benar di mana letak keramaian itu berlangsung.
” Kan di undangan yang dikirim ditulis ada pertunjukan lenong. Makanya dari yang nongkrong-nongkrong sampai sopir angkot juga tahu bakal ada lenong di sini,” kata pengojek yang jadi juru parkir dadakan.
Saat anak buahnya berdangdut ria di siang terik itu, Mpok Nori menumpang duduk di rumah salah satu warga. Ia sibuk melayani belasan penggemarnya yang sekadar bersalaman maupun berfoto bersama.
”Jam empat sore kami break. Jam delapan malam mulai lagi bunyi-bunyian gambang keromong dan dangdut. Lenongnya baru main jam 11 malam,” kata Mpok Nori.
Awak panggung Sinar Noray yang pada kesempatan itu total 70 orang sebagian istirahat, tidur-tiduran di lantai teras.
Petang makin ramai
Menjelang petang, keramaian makin terasa. Puluhan penjaja makanan, mulai dari bakso, soto kikil, sate kambing, kacang goreng, hingga tahu/tempe goreng, mengatur diri di belakang panggung dan pinggir lapangan yang dipenuhi ilalang tinggi.
Seperti air, penonton tak henti-hentinya mengalir. Mereka datang berbondong-bondong dari Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Jengkol, Pondok Kacang, Pondok Serut, Tajur, Kunciran, dan Cipete.
Ada yang berboncengan naik motor, jalan kaki, bahkan menumpang mobil bak terbuka. Kelompok undangan yang berdandan cantik dan necis berbaur dengan mereka yang sekadar ingin menonton lenong.
Di pintu butulan cluster perumahan, sepeda motor terus keluar masuk. Ratusan penonton yang meruah kontras dengan situasi cluster perumahan yang sunyi senyap.
Mereka asal duduk. Asap rokok mengepul di mana-mana. Semua terhanyut menikmati lenong, bahkan juga anak-anak kecil yang duduk di pinggir panggung dan bertahan hingga dini hari.
Banyolan sederhana, gerakan lucu yang diulang-ulang, sudah mengundang gelak tawa. Cerita bukan yang utama di sini. Jangan heran bila judul ”Siluman Babi Ngepet” pun baru diketahui pemain menjelang pentas.
”Jangan sampai judul yang pernah dimainkan di seputar sini diulang lagi,” kata Sumarto, menantu Mpok Nori, yang bertugas menentukan judul.
”Kami selalu siap main cerita apa saja. Sudah biasa kok improvisasi,” kata Mpok Nori menjelaskan.
Sayangnya, pementasan lenong Betawi kini tak sesering dulu. Di tahun 1980-1990-an, sebuah grup lenong bisa pentas delapan kali sebulan. Kini sebulan-dua bulan pun belum tentu ada order.
Maka ikatan keanggotaan menjadi amat cair. Kalau tak ada order, boleh saja para anggota ikut main kelompok lain. Memprihatinkan? Itulah kenyataannya.
Sedikit tentang Topeng Betawi
ami sudah mahfum kalau dari dunia Lenong tidak dapat dikesampingkan bintang lenong “Bokir” yang giginya nyerongos dan logatnya asli Betawi. Ayah Bokir, Dji’un, juga seorang pemain topeng Betawi semasa kolonial. Hampir seluruh hidup Bokir dipersembahkan untuk kesenian topeng dan lenong Betawi. Ia sudah bermain topeng Betawi sejak usia 13 tahun. Pada mulanya ia sebagai pemain kendang sampai rebab. Kemudian ia mendirikan dan memimpin kelompok topeng Betawi Setia Warga sejak tahun 1960-an hingga akhir hayatnya. Pada awal tahun 1970-an Setia Warga sering tampil di TVRI.
Penampilan terakhir Bokir dan kelompoknya, September 2002 lalu, di sebuah hajatan perkawinan di Cilangkap. Mereka memainkan cerita Salah Denger yang-antara lain-didukung Bolot, Malih, dan Bodong. Mandra dan Omas, pemain topeng betawi yang kemudian sebagai pemain sinetron, adalah keponakan Bokir. (IM)
ONDEL-ONDEL
Ondel-ondel adalah bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.
Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalarnnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang yang perempuan dicat dengan warna putih. Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang terdapat di beberapa daerah lain.
Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan nama Barong Landung. Menurut perkiraan jenis pertunjukan itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa.
Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.
Musik pengiring Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantug dari masing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpian Gejen, kampong setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diirig Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombogan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.
Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalarnnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang yang perempuan dicat dengan warna putih. Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang terdapat di beberapa daerah lain.
Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan nama Barong Landung. Menurut perkiraan jenis pertunjukan itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa.
Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.
Musik pengiring Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantug dari masing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpian Gejen, kampong setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diirig Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombogan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.
TANJIDOR
Tanjidor adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-19. Alat-alat musik yang digunakan biasanya terdiri dari penggabungan alat-alat musik tiup, alat-alat musik gesek dan alat-alat musik perkusi. Biasanya kesenian ini digunakan untuk mengantar pengantin atau dalam acara pawai daerah. Tapi pada umumnya kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara luas layaknya sebuah orkes. Kesenian Tanjidor juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan sudah punah.
MUSIK SAMRAH
Samrah adalah salah satu budaya Betawi. Orkes samrah berasal dari Melayu sebagaimana tampak dari lagu-lagu yang dibawakan seperti lagu Burung Putih, Pulo Angsa Dua, Sirih Kuning, dan Cik Minah dengan corak Melayu, disamping lagu lagu khas Betawi, seperti Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya. Tarian yang biasa di iringi orkes ini disebut Tari Samrah.
Gerak tariannya menunjukkan persamaan dengan umumnya tari Melayu yang mengutamakan langkah langkah dan lenggang lenggok berirama, ditambah dengan gerak-gerak pencak silat, seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan yang diperhalus. Biasanya penari samrah turun berpasang-pasangan. Mereka menari diiringi nyanyian biduan yang melagukan pantun-pantun bertherna percintaan dengan ungkapan kata-kata merendahkan diri seperti orang buruk rupa hina papa tidak punya apa-apa.
Gerak tariannya menunjukkan persamaan dengan umumnya tari Melayu yang mengutamakan langkah langkah dan lenggang lenggok berirama, ditambah dengan gerak-gerak pencak silat, seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan yang diperhalus. Biasanya penari samrah turun berpasang-pasangan. Mereka menari diiringi nyanyian biduan yang melagukan pantun-pantun bertherna percintaan dengan ungkapan kata-kata merendahkan diri seperti orang buruk rupa hina papa tidak punya apa-apa.
PERKAWINAN BETAWI
Adat Betawi Perkawinan Adat Pengantin Betawi ditandai dengan serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui Mak Comblang. Dilanjutkan lamaran. Pingitan. Upacara siraman. Prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Malam pacar, mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.
Puncak adat Betawi adalah Akad Nikah. Mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit menandakan masih gadis saat menikah.
Mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, Hem, Jas, serta kopiah. Ditambah baju Gamis berupa Jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, Baju Gamis, Selendang yang memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menandai agar rumah tangga selalu rukun dan damai.
Prosesi Akad Nikah Mempelai pria dan keluarganya datang naik andong atau delman hias. Disambut Petasan. Syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Al Quran. Pada akad nikah, rombongan mempelai pria membawa hantaran berupa:
Puncak adat Betawi adalah Akad Nikah. Mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit menandakan masih gadis saat menikah.
Mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, Hem, Jas, serta kopiah. Ditambah baju Gamis berupa Jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, Baju Gamis, Selendang yang memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menandai agar rumah tangga selalu rukun dan damai.
Prosesi Akad Nikah Mempelai pria dan keluarganya datang naik andong atau delman hias. Disambut Petasan. Syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Al Quran. Pada akad nikah, rombongan mempelai pria membawa hantaran berupa:
- Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang. Artinya segala pahit, getir, manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami istri.
- Maket Masjid, agar tidak lupa pada agama dan harus menjalani ibadah shalat serta mengaji.
- Kekudang, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya.
- Mahar atau mas kawin.
- Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, lasem, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama.
- Petisie yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misalnya wortel, kentang, telur asin, bihun, buncis dan sebagainya.
- Mempelai pria membuka cadar pengantin wanita untuk memastikan pengantin tersebut adalah dambaan hatinya.
- Mempelai wanita mencium tangan mempelai pria.
- Kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan.
- Dihibur Tarian kembang Jakarta
- Pembacaan doa berisi wejangan untuk kedua mempelai dan keluarga kedua belah pihak yang tengah berbahagia.
COKEK
Tari Cokek merupakan tarian yang berasal dari budaya Betawi Tempo Doloe. Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari pertunjukan kreasi baru, pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan sebagainya, disamping sebagai pengiring tari pergaulan yang disebut tari cokek. Tari cokek ditarikan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Tarian khas Tanggerang ini diwarnai budaya etnik China. Penarinya mengenakan kebaya yang disebut cokek. Tarian cokek mirip sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini kerap identik dengan keerotisan penarinya, yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat.
Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki.
Setelah itu mereka mengajak tamu untuk menari bersama,dengan mengalungkan selendang. pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.
Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki.
Setelah itu mereka mengajak tamu untuk menari bersama,dengan mengalungkan selendang. pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.